Di Ufuk Barat Sana


Di Ufuk Barat Sana
Mataku tertuju pada senja di ufuk barat sana, rerumputan menyapaku dengan asyiknya dan berkata mestikah gelisah dan rindunya buatmu sementara ia telah berkelana dengan waktu yang tak berujung dengan seorang gadis yang mungkin saja akan memelihara ruang rindunya pada satu bilik hatinya bagian kanan, posisi yang strategis dan tak mungkin kau mengguggatnya dengan sebuah gelimang harta dan bahkan keperempuanmu pun tak mampu memasuki ruang itu.
Pelangi itu menawarkan warna yang indah, sejenak memberiku arti dari wacana yang menyatakan:
Andi, seddi elo kuparinggerakki, Tania doi ditiwi rewe lao puang Allah ’ta’ala”, (Bukan harta yang kita bawa mati, menghadap ke Allah SWT)”
 “Tania jabatan ditiwi lao lisu dipunna lino” (Bukan jabatan yang kita bawa menghadap ke Sang Pemilik Bumi)
Tapi iyaro ditiwi ede iyamiro ammalang.”.(Tapi, yang di bawa ke hadapan Allah SWT adalah amal jariyah ketika kita setelah meninggal.
Harta dan tahta yang selama ini ku dapati tidak membuatku bahagia, karena sang lelaki yang ku inginkan sebagai pendampingku kelak menjadi milik orang lain karena keegoanku dengan segala bentuk keduniawian, sehingga tak pernah ku lihat berapa tangis anak piatu yang telah ku sia-siakan, berapa luka hati yang telah ku torehkan dalam hati anak yatim, berapa duka yang telah ku sematkan di dada rakyat jelata sehingga aku mendapatkan gemilang harta, tapi ku sadari bukan itu ternyata membuatku bahagia, kebahagianku telah ku lelang dengan rupiah.
Terik matahari, perlahan tenggelam, rembulan pun beranjak sedetik demi detik, namun  Laila masih pada tempatnya, menatapi ruang kemahakuasaan Allah SWT, lukisan yang dilukis oleh sang pencipta tak ada yang mampu menyayangi pelukis duniawi.
Sendiri menatap ruang malam dengan cahaya lampu yang sedari tadi kerlap-kerlip dengan ditemani sebatang lilin, ku teringat dengan beberapa kalimat yang telah kulontarkan dengan gamblangnya kepada Ardi.
“Aku lebih leluasa dengan apa yang ku miliki, bahkan aku bisa menatap bumi di atas bulan, aku bisa membeli apa yang ku inginkan dan aku mampu mendapatkan apa yang kuinginkan”.
Kalimat ini pernah kulontarkan di hadapan Ardi, akan tetapi, sejak kepergian Ardi, aku merasa hidup bagaikan tak bermakna padahal aku lebih leluasa jika ingin memiliki apa yang ku inginkan tetapi aku tak mampu membeli kebahagian, aku tak mampu mendapatkannya walau secuil, laki-laki yang selalu menginginkan aku dengan impian sebagai pendamping hidupku bukan karena cinta, tetapi melaingkan karena harta yang kumiliki selama ini.
Tetas air mata membasahi pelipis hingga baju yang bermerek itu, sampai harganya bisa membuat sang anak jelata 5 bulan untuk makan, itupun sudah makan 3 kali sehari. Beberapa wejangan yang pernah dilontarkan Ardi tak pernah kuterima dengan baik, tak pernah ku analisa dengan baik hingga ia lebih memilih mundur dari kehidupanku daripada mempertahankan aku sebagai perempuan penutup masa lajangnya.
Lima bulan lalu aku masih tak pernah berpikir bahwa ia tak mungkin tak kembali karena aku perempuan yang sempurna, aku memiliki harta, kecantikan dan segalanya ku punya. Tapi setelah enam bulan penantianku, aku jenuh menunggunya hingga aku mencari tahu ke mana ia. Ke mana Ardi, karena tak pernah kudengar kabar, apalagi Ponselku enggan berbunyi dari panggilannya, Sehingga Aku memutuskn untuk mencari Ke mana Ardi sebenaranya, 2 bulan pencaharianku mencari ardi ternyata warta kudengar bahwa ia telah memilih gadis desa, dan katanya ia bahagia walau ia bekerja di sawah, dan ia berternak serta berkebun, dia meninggalkan harta dan jabatan yang pernah ia rasakan karena menurut Ardi semua itu hanya titipan dari sang pemilik bumi.
Laila yang mendengar warta itu, diam dan terpaku menatap gambar ukuran 5 R, gambar itu miliki Ardi dan Laila yang ketika itu ia berpose bersama di salah satu taman wisata alam di Maros. Sejenak ia termenung dan sambil tersenyum menatap gambar itu, tapi sesungguhnya dalam hati Laila sangat pilu dan menyakitkan karena mendengar kabar itu.
“Ardi, dulu engkau memberiku kebahagian yang tak terkira, dan kau membelaiku bukan karena Aku bergelimang kemewahan, bukan pula karena jabatan yang telah ku raih berkat motivasimu, tapi kini batinku telah terkoyak-koyakkan, itu karena diriku sendiri, Tutur Laila sembari menatap foto berukuruan 5 R tersebut”.
“Mengapa aku tak menuruti kalimat-kalimatmu waktu itu hingga aku mendapatkan kebahagianku bersamamu, mengapa aku lebih memiliki jabatan dan kekayaan yang tak bisa kutukar dengan kebahagian, Ardi aku menyesal dengan semua ini, aku sendiri Ardi, aku rindu dengamu Ardi, aku sangat menyesal, kalimat-kalimat ini terus berulang dalam hati Laila hingga ia memutuskan untuk menemui Ardi.
Esok kiranya aku akan datang menemuimu Ardi, moga saja ia masih di desa itu, desa yang terpencil dan tak cukup banyak mobil yang berlalu lalang, Setelah kusiapkan beberapa lembar baju dan peralatan yang kusiapkan tadi malam, ayam telah berkokok, ku stater mobil baleno ku, kali ini aku berangkat sendiri tanpa sopir, perusahaan hanya ku titip dengan mitra dan wakilku di kantor, aku hanya mengatakan aku akan berangkat berlibur. Sejam perjalanan di kampung itu, ku selidiki sendiri, aku bertanya kepada masyarakat di desa tersebut, yang pernah melihat Ardi atau melihatnya dengan memperlihatkan gambar Ardi kepada masyarakat di desa tersebut.
2 jam aku mencarinya di desa ini desa Bengo, namun tak jua ku dapati, azan Dzuhur berkumandang aku memarkir mobilku, dan shalat di masjid Babul Ar-Rahma, kepada siapa yang melintas di depanku aku menanyainya namun, tak ada yang mengenali Ardi.
Kulangkahkan kaki dengan sebuah harapan agar dapat melihat wajah Ardi yang terakhir kalinya sebab hanya ia yang mampu menjadi tumpuan hidupku, hanya dia Laki-laki yang memberikanku kebahagian dan kenikmatan yang tak bisa di beli dengan apa yang kumiliki sekarang.
Tiba-tiba seorang perempuan melintas di hadapanku, Aku menghentikannya sejenak dan kuperlihatkan foto Ardin perempuan itu bernama Mia.
Millau dampenga maraja, Ki dissengi tauwe iyae laleng foto?” (Maaf yang sebesar-besarnya dinda, apakah kamu mengenal laki-laki yang ada di foto ini?
Tega’e mullemuika ku ita madeceng-deceng pa sippada sedding ku isengi iyae urane’de” (Apakah Aku dapat memegangnya agar aku apat melihat dengan jelas siapa laki-laki yang anda maksudkan) kata perempuan itu.
Kebahagian Laila mendengar kata-kata yang dilontarkan dalam kalimat perempuan itu, Setetes harapan dari pencaharian Laila.
Tabe, ku itani, iyae urane’de ku sappa-sappa, engkana kasi 2 uleng sappa-sappa iyae, na aseng tau di kampongnna, iya’e urane enggai gae ko mai di kampong ede” (Ini lihatlah dengan jelas, karena lelaki itu sudah dua bulan aku cari, kabar yang aku dengar bahwa laki-laki tersebut berada di kampong) Sambil memberikan foto itu kepada Mia, gaya perempuan itu berbeda dengan Laila, Laila yang modis, HP di tangan kanan, kunci mobil di kiri.
Sementara Mia hanya memakai daster, rambut dikepang dua, dan alas kaki sandal jepit, harapan menemui Ardi telah terbuka jalannya.
Iya’e urane engkau ko romai, iyaro desa diaseng Desa Malaka Dusun La Colla” (Laki-laki itu ada di Desa Malaka, Dusun La Colla)
Menre ni ko di oto’e, nappa lokkaki di bolana ki diasengi denre, (naiklah ke Mobil dan kita menemui laki-laki tersebut di kampong yang anda tadi sebutkan)
“iye,
Gadis dan perempuan desa itu menelesuri jalan setapak, dan beberapa jalanan yang tak beraspal, yang ada hanya pengerasan dan beton serta jalan mendaki, Laila yang menyetir sangat hati-hati karena kalau tidak maka akan menabrak gunung dan jatuh ke dalam jurang.
Sesampainya di Desa itu, Laila melihat Ardi dengan memakai pakaian yang tak pernah ia lihat sebelumnya dengan seorang anak kecil yang ia gendong. Laila memarkir mobilnya pas dihadapan Ardi.
Ardi yang melihat mobil Baleno menghampirinya tiba-tiba kaget dan ia melihat siapa pemilik mobil itu dengan menghampirinya tapi sebelumnya anak yang ditimangnya ia berikan kepada istrinya.
“Ardi, sudah lama aku mencarimu, Aku tak sanggup berpisah darimu” (Sambil memeluk Ardi)
“Laila, Aku bukan Ardi yang engkau kenal lagi, Ardi yang engkau kenal dulu adalah Ardi yang mencintai Laila dengan memberikan kasih saying yang tulus tapi karena harta engkau mencampakkan aku dan kuputuskan untuk menikah di sini tanpa kuberitahu engkau karena pasti engkau akan merasakan sakit Laila, hapuslah air matamu Laila, esok pasti aka nada laki-laki yang lebih baik dariku hingga engkau menjalin kisah romantisme yang indah sampai kepelaminan kelak.”
“Ardi, lantas apakah aku mesti menyerah begitu saja, sementara penantianku telah usang dengan waktu yang memaki, Ardi, aku ingin engkau lagi seperti dahulu, yah… seperti dulu, engkau membelaiku dengan kehangatan.”
“Laila, tidak Laila, aku telah berkeluarga, ini istriku dan anakku, aku telah bahagia walau hanya hidup sederhana seperti ini, tapi itu tak dapat ditukar dengan nilai rupiah”.
Setelah Ardi menjelaskan kepada Laila bahwa Allah SWT, menggariskan yang lain maka dengan lapang dada Laila menerima kenyataan ini walau terasa pahit yang ia rasakan.
 
Malaka, 1 Februari 2010

Saudaraku, Usah Kau Lara Sendiri

"...letakkanlah tanganmu di atas bahuku
biar terbagi beban itu dan tegar dirimu
di depan sana cahya kecil 'tuk memandu
tak hilang arah kita berjalan
... menghadapinya ..."
(Katon Bagaskara)
Itu adalah penggalan lirik lagu Usah Kau Lara Sendiri,yang dipopulerkan oleh Katon Bagaskara & Ruth Sahanaya. Lagu itu terus menerus terngiang di kepala saya setiap menjelang peringatan hari AIDS sedunia, 1 Desember setiap tahunnya.
Tepatnya sekitar tahun 1996, saat itu saya masih kelas 2 SMU di PERGIS Maros, dan saya baru saja bergabung dalam sebuah organisasi keremajaan di Kab. Maros (IRM). Usah Kau Lara Sendiri, mengalung merdu dari suara senior-senior saya dengan petikan gitar yang luar biasa dari Kanda Irdan AB. Ya, di Gedung Wanita suasana temaram yang hanya disinari dengan cahaya lilin berkumpul elemen remaja dan pemuda Kab. Maros, mereka berusaha memahami suasana kebatinan saudara-saudara kita yang mendapatkan musibah dengan penyakit HIV/AIDS yang dideritanya.

Malam ini, Usah Kau Lara Sendiri kembali mengalung, meskipun telah berlalu 15 tahun lamanya, tapi kisah di Gedung Wanita itu masih tetap segar diingatan ku, hanya saja kondisi saat ini jauh berbeda, ketika itu kami berkumpul dalam satu ruangan, saling bergandengan tangan sebagai wujud solidaritas. Sekarang kisah itu kembali dirajut dalam bentuk yang berbeda, hubungan emosional dan perasaan empati dibatasi oleh jarak tapi dipersatukan lewat media sosial dan media-media lainnya.

Saat ini, masing-masing menunjukkan empati dengan caranya masing-masing, aku hanya bisa mendedikasikan blog saya dengan menyajikan informasi seputar HIV/AIDS selama 3 hari berturut-turut, semuanya bertujuan untuk menyatakan bahwa saudaraku Usah Kau Lara Sendiri, kami selalu ada disisimu.

Jakarta, 30 Nopember 2011, 09:38 pm

Aku Tersenyum Lagi

Aku kira selama ini bumi tegah berhenti berputar...
Jiwa hancur berkeping-keping dan tak sanggup tuk berdiri lagi...
Aku pikir selama ini ruang hati tertutup sudah...
Tanpa ada yang mampu menyentuh...

Tapi ternyata semua berakhir...
Persembunyian hati ini...
Meskipun waktu lambat bicara...

Kubukakan hati, perlahan namun pasti...
Karna Kau yakinkan diriku...
Hanya Kau yang mampu sentuh hatiku...
 
Bumi berputar kini...
Aku tersenyum lagi
 
by Wiwiek Dwi
on Saturday, December 26, 2009
 
 

Kemana Arah Pendidikan Indonesia?

Berbicara tentang pendidikan tentu tidak dapat dipisahkan dari Manusia. Karena manusia memiliki potensi yang dapat di rubah dan dikembangkan melalui pendidikan. Berdasarkan Pengertian pendidikan, maka Target dari pendidikan adalah untuk merubah anasir-anasir yang bersumber dari hal-hal yang metafisik untuk kemudian dimanifestasikan dalam rangka penguasaan Ilmu Pengetauan dan Tekhnologi. Dengan demikian maka pendidikan harus ditelaah dari “asal mula” sampai pada “tujuan akhir”. Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka manusia melewati “perjalanan” tersebut sehingga tidak lepas dari dimensi kefilsafatan (Kebenaran). Jika tidak maka proses pendidikan tentu akan jauh dari nilai-nilai filosofisnya.

Satu hal yang kami garis bawahi, bahwa kecenderungan terjadinya penyimpangan dari “perjalanan” dari asal mula sampai tujuan akhir menghasilkan nilai yang jauh dari nilai filosofisnya, sesungguhnya tidak berada pada jargon-jargon subtansial. Akan tetapi terjadi pada “pembesaran-pembesaran” yang menyertai proses tersebut. Hal ini mungkin terjadi pada dataran epistimologi dimana manusia sebagai subyek dan obyek dari pendidikan memiliki peran besar dalam menentukan “hal terbaik” yang dianggap tepat digunakan sebagai “approach method” untuk mencapai tujuan akhir.

Permasalahannya kemudian adalah; apakah hal tersebut menjadi pokok pembahasan dari Filsafat Pendidikan, atau Filsafat Ilmu Pendidikan. Apakah kedua hal tersebut berbeda atau tidak. Jika berbeda apakah yang membedakan antara kedua hal tersebut.

Menurut asumsi kami bahwa Filsafat Pendidikan adalah merupakan suatu cabang Filsafat yang mengkhususkan obyek bahasannya pada Pendidikan sebagai sebuah proses. Jika demikian maka secara tidak langsung pembicaraan akan berada pada persoalan-persoalan materi, obyek dan proses serta metode dari penddikan itu sendiri. Dalam kuliah perdana dikemukakan bahwa ada tiga aspek yang dibicarakan dalam filsafat pendidikan yang juga menjadi inti bahasan Filsafat secara umum, yaitu Ontologi, Epistimologi dan etis dari Pendidikan. Berarti bahwa Filsafat pendidikan lebih kepada proses rasionalisasi pendidikan yang menjadikan potensi Human Being dengan segala aspeknya membentuk Civil society yang sarat dengan kebenaran (wisdom).

Bagaimana dengan Filsafat Ilmu Pendidikan. Filsafat Ilmu pendidikan menegaskan aspek pembahasannya pada hal-hal yang subtansial dan teoritis. Akan tetapi hal ini pun sesungguhnya menjadi pembahasan dalam Filsafat Pendidikan.

Hal lain yang menjadi permasalahan adalah jika dasar philosfi dari pengertian pendidikan kemudian dikaitkan dengan Ilmu pengetahuan dan tekhnologi maka dapat diketahui bahwa Proses menjadi Tahu dari ketidak tahuan adalah merupakan suatu proses yang luar biasa yang sekaligus merupakan proses dari “pendidikan’. Akan tetapi apakah proses tersebut tidak menghasilkan kemajuan dalam beberapa aspek kehidupan manusia. Apakah hanya sekedar sebagai sebuah bentuk “perubahan”. Misalnya manusia dari tidak tahu tentang “Gelas” (Obyek Materi) menjadi tahu “Gelas”. Proses dari tidak tahu mejadi tahu tersebut hanyalah “PERUBAHAN” dari “tidak tahu” menjadi “mengetahui” atau merupakan sebagai indikator dari sebuah “KEMAJUAN” yang dicapai oleh manusia. Menurut hemat kami perubahan yang terjadi adalah merupakan sebuah indikator dari sebuah kemajuan.

Bayi misalnya yang tidak dapat berjalan dalam prosesnya akan tiba pada suatu masa dimana ia mampu berjalan. Hal tersebut terjadi melalui proses pendidikan. Dari tidak dapat berjalan menjadi dapat berjalan adalah merupakan sebuah bentuk “perubahan”. Dan Perubahan dari tidak dapat berjalan menjadi dapat berjalan adalah indikator dari kemajuan yang diperolehnya. Dalam skala makro, masyarakat mengalami “proses perubahan” dari tradisional ke modern sebagai hasil dari penguasaan Ilmu Pengetauan dan Tekhnologi. Perubahan tersebut menjadi sebuah indikator kemajuan yang diperolehnya. Dari tatanan masyarakat “jahiliah” (hukum Rimba) menjadi Civil Society. Berarti dalam sebuah perubahan terdapat didalamnya sebuah kemajuan.

Pecinta Buta


Sufi, Cinta, Tuhan
Siapa aku sebenarnya...?

benarkah aku mencinta-Mu?
sementara, syairku bukan menyampaikan ayat-ayat-Mu
lantunan firman-Mu bahkan tak menggetarkan jiwaku
dan sedikitpun tak meninggalkan bekas dalam nuraniku
adakah aku seorang pecinta sejati?
jika aku tak pernah rindu bertemu dengan-Mu
karena setitik bahagia membuatku lupa kepada-Mu
dan bahkan tak menjadikan-Mu satu-satunya penolongku

aku ini siapa...?
aku tak lebih dari seorang pecinta buta
yang tak pernah kuasa menjamah kekasihnya
sang pencinta tapi ingkar pada anugrah-Nya

Aku lalai pada Cinta-Mu ..... TUHAN



Bandara saksi Bisu

Menyambut fajar dengan butiran kristal
ke arah timur engkau terbang bersama kenangan
ingin rasanya menitip pesan pada camar bahwa kuingin engkau tetap disisiku tapi tak mungkin
bandara terpaksa menjadi bisu menatapmu

kapan berujar untuk menitip pesan bahwa engkau pergi untuk kembali
sejak malam itu tanda perpisahan ternyata .....
sepucuk kenangan kau titip untuk menulis sejarah
kau dan impiam....
merampas hak dan realitasku
elegi di Bandara kini sekadar memory
karena waktu memfonisku untuk tak bersua 

Pembentukan Karakter Disiplin dalam Pembelajaran

Disiplin
A. Pendahuluan
Proses pembelajaran bukan hanya berada pada lingkungan formal, tentu kita sepakat hal tersebut. dan bukan hanya pada ruang kelas sehingga banyak ruang dan waktu  dapat dimanfaatkan dalam belajar.  Salah satu cara atau strategi seorang guru agar peserta didiknya tetap belajar di rumah pada saat pulang sekolah yaitu pemberian tugas. Pemberian tugas di rumah menjadi suatu beban yang dirasakan oleh seorang peserta didik disamping kesibukannya bermain, tetapi tidak semua peserta didik seperti itu tentunya, bahkan ada juga peserta didik yang merasa bahwa pekerjaan rumah atau tugas kelompok sangat dibutuhkan oleh mereka. paling tidak bisa keluar dari beban rumah yang mungkin menurutnya adalah beban rumah tangga yang belum seharusnya dikerjakan oleh seorang anak kecil yang masih sekolah. padahal sudah jelas bahwa pekerjaan tersebut adalah proses belajar juga.

Pekerjaan rumah adalah pemberian tugas yang sampai detik ini kami rasa adalah suatu pemberosan, karena terkadang peserta didik mengerjakannya di sekolah. Entah apakah rutinitas di rumah mereka yang kerap mengganggunya ataukah waktu lowongnya dia tukar dengan bermain. tapi itulah kenyataanya. mereka cenderung mengerjakan disekolah atau paling tidak mereka dapat melihat pekerjaan temannya yang telah selesai.

Hal inilah yang mendasari bahwa karakter displin dan tanggung jawab mesti terbentuk. Pendekatan yang dapat ditawarkan adalah pendekatan secara psikologi tentang displin dan tanggung jawab sebagai wujud karakter, peserta didik diajak untuk menjadi warga pembelajar yang cinta akan pelajaran dan sebagai pendidik maka model pembelajaran mesti dianalisis untuk dijadikan sebagai kerangka acuan dalam pemberian pembelajaran.
permasalahan yang akan dibahas yaitu
1. Bagaimana kedipslinan siswa dalam menjalankan tugas?
2. Bagaimanakah tanggung jawab siswa dalam menjalankan tugas yang diberikan?

B. Pengertian Displin

Kadir(aadesanjaya) menyatakan bahwa.Disiplin adalah kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan atau pengendalian. Kedua disiplin yang bertujuan mengembangkan watak agar dapat mengendalikan diri, agar berprilaku tertib dan efisien”  Sedangkan disiplin menurut Djamarah adalah "Suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pridadi dan kelompok”Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru Kedisiplinan mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Berkualitas atau tidaknya belajar siswa sangat dipengaruhi oleh paktor yang paling pokok yaitu kedispilan, disamping paktor lingkungan, baik keluarga, sekolah, kedisiplinan setra bakat siswa itu sendiri.

Maman (Harning: 2005: 18) Disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya.

C.Pemberian tugas 

Untuk mewujudkan apa yang diharapkan oleh kurikulum dimana salah satunya adalah menjadikan siswa aktif dalam proses pembelajaran yaitu dengan memberikan tugas kepada peserta didik. pemberian tugas merupakan hal yang urgen kepada peserta didik karena dapat mengukur, menilai dan mengevaluasi peserta didik apakah ada peningkatan hasil belajarnya.

D. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Menurut  Said dkk (2010: 4) Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter dirinya, menerapkna nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang relgius, nasionalis, produktif dan kreatif.
   
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
  1. Religius : Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran  terhadappelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun denganpemeluk agama lain.
  2. Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
  3. Toleransi :  Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
  4. Disiplin :  Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
  5. Kerja Keras :  Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
  6. Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
  7. Mandiri :  Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
  8. Demokratis : Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
  9. Rasa :  Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
  10.  Semangat Kebangsaan : Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas  kepentingan diri dan kelompoknya.
  11. Cinta Tanah Air :  Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
  12. Menghargai Prestasi :  Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk  menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
  13. Bersahabat/ Komuniktif : Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
  14. Cinta Damai : Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
  15. Gemar Membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
  16. Peduli Lingkungan : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
  17. Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
  18. Tanggung-jawab : Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
E.  Displin dalam Mengerjakan Tugas

Salah satu nilai karakter yang dintegrasikan ke dalam kurikulum atau pada proses pembelajaran yaitu displin, tingkat kedisplinan dalam pemberian tugas dinilai kurang sehingga pendekatan-pendekatan yang mesti dilakukan dalam hal ini. Pemberian tugas melatih peserta didik untuk displin dalam melaksanakan kewajibanya sebagai pembelajar sehigga terbentuk karakter seorang individu dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang peserta didik.

Daftar Pustaka

aadesanjaya.blogspot.com  kedisplinan belajar siswa dikutip on line pada tanggal 10 Nopember 2011

Susilowati,  Harning Setyo. 2005. Pengaruh displin belajar, lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah terhadap prestasi belajar siswa kelas X semester 1 Tahun ajaran 2004/2005 SMA N 1 Gemolong Kabupaten Sragen

Hamid Hasan, Said, 2010. Baham Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajraan Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa  Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan pengembangan Pusat Kurikulum





Mencintaimu Tidak dalam Kata-Kata

bait apa lagi yang perlu kulafazkan
jika tak lagi mengiang dipendengaranmu
meski fasih kudendangkan
tak juga jadi kebenaran untukmu

perlukah kudaras berulang ulang
seperti apa yang engkau mau
sementara kadang terdengar samar ditelingaku
hingga aku alpa mengejanya

cukupkanlah hati yang membacanya
jangan sampai akal membolakbaliknya
hingga aku dan engkau tak mahfum
karena semuanya hanya untukmu
sungguh aku mencintaimu
tidak dalam kata-kata

by Uak Sena on Saturday,
November 12, 2011

Palem Merah bukan Palang Merah!

Subuh itu, Bontokapetta masih berkabut, udara dingin menembus tulang tapi keceriaan anak-anak menyambut subuh di awal ramadhan membuat suasana menjadi hangat.

Menyambut subuh Ramdhan adalah saat yang dinanti-nanti oleh hampir semua masyarakat, khususnya anak muda, mereka memanfaatkan moment Subuh untuk bersosialisasi dengan teman-teman yang mungkin tidak setiap hari ketemu, khususnya remaja “Putrinya” heheheh.....

Tempat favorite yang biasa kami gunakan untuk “Jalan-Jalan Subuh” adalah kompleks BALITTAN (sekarang:BALITSEREAL), lokasi itu berjarak sekitar 1 KM arah ke Barandasi. Subuh yang dingin itu, sy ditemani dengan 2 orang teman karib saya berbaur dengan anak muda lainnya dari berbagai wilayah sekitar BALITTAN, mulai dari Pammelakkang Je’ne, Bonto manai, Bonto maero’, Soreang, Kalumpang, Barandasi bahkan dari Maros Kota pun mungkin ada, saking ramainya Subuh itu.

Saat itu saya lagi asik mengamati sekitar, jangan-jangan si “dia” lewat, hehehe.....Tiba-tiba salah seorang teman saya berbisik, “weh mauko liat palem merah?”, tapi yang terdengar ditelinga saya “palang merah”, dalam hati sy berujar, wah hebat sekali mereka, subuh-subuh begini bertugas (maklum saat itu saya anggota C PMR di sekolah saya), langkah pun kami percepat menuju lokasi yang ia maksud, sesampai disana ia menunjuk pohon mirip pohon kelapa berwarna merah, tanpa rasa berdosa teman saya berujar, “ini E palem merah, mahal ini kau E, jutaan”, saya pun tertawa dalam hati, menertawakan kebodohan saya ternyata bukan “Palang merah” tetapi “Palem merah”, dan biasalah anak muda tidak mau kalah, akupun sembunyikan kebodohan itu, sampai saat ini. Heheheh...

Tribute buat ke dua sahabat ku, saya merindukan saat-sat itu bersama kalian.

Pinisi Cinta

Dari jauh terdengar kalimat bahwa kerap manusia itu berubah, seiring waktu berjalan Kutemukan beberapa sajak yang telah luntah karena telah usang dimakan debu dan hanyut terseret gelombang. Makna filosofinya tak lagi mampu untuk menjadi lantunan syair tengah malam dan tak akan ada lagi semiotik yang dapat diterjemahkan oleh gemintang sebab ampas rokok tertelan bara apinya. Darimana lagi dapat ditemukan ukiran semahal itu bahkan tak dapat dinilai dengan rupiah karena benda bukanlah benda dan ia abstrak. Ini menjadi fenomena alam yang tak dapat diterjemahkan dalam kamus apapun juga.

Secercah harapan dan hajat yang tak lagi mampu untuk diresapi apa arti dari semua pengorbanan karena pengorbanan itu sendiri telah terhempas dalam gemuruh bara dan badai yang entah dari mana datangnya.
Wacana di atas menggugah Haikal untuk berkontemplasi dengan jiwanya untuk menemukan satu titik di mana dan ke mana perjalanan romantisme yang hampir setahun ia rasakan akan sandar sebab lagi-lagi pelabuhan yang kerap ia impikan tak mampu menjadi apa yang dihajatkan olehnya. Hanya Sang Khalik yang tahu jawaban itu semua.

Dalam catatan hitam ia menjadi orang yang paling menakutkan dan tak ada yang mampu untuk menjadi sandaran hingga ia mencatat dan mengores catatan putih dalam hidupnya yang ada hanya kebimbangan dan kehidupan suram. Maya yang pernah menjadi tumpuan hidupnya telah undur dalam hidupnya karena tak kuasa menahan penderitaan batin yang dialaminya terhadap Haikal, padahal Haikal masih menaruh harapan dan menghapus beberapa catatan putihnya dalam dunia hitamnya.

Maya pun hengkang dari kehidupannya seperti ustasa-ustasa lainnya, Maya banyak mengajari Haikal tentang makna hidup, banyak memberi wejangan tentang apa arti dari kehidupan ini tapi itulah hidup, kadang di bawah dan kadang pula di atas tak ada yang sempurna. Akhirnya, Haikal dengan keikhlasan melepas Maya dari palung hatinya dan siap menerima konsekuensi dari apa yang ada dalam dirinya tentang dirinya.

Setelah kepergian Maya, Haikal sering termenung dan melamun, “menjadi orang yang baik itu ternyata sulit“ kata Haikal dalam dirinya.
“Haikal, inilah hidup, inilah realitas yang terjadi dan tak ada seseorang yang mampu menjadi malaikat, karena Sang Maha Adil telah menentukan jalan seseorang dalam dirinya sendiri”
“Iya ….., pernah Aku berpikir, bahwa Tuhan tidak adil padaku di mana saat Aku menemukan pelabuhan yang dapat kusandarkan pinisi cintaku ternyata ia pula hengkan dan pamit setelah menitip pesan “bahwa jangan pernah berubah karena seseorang tak ada yang mengubah dirimu kecuali engkau yang mengubah jalanmu sendiri”. Tapi setelah kontemplasi yang kulakukan selama beberapa warsa ternyata pola paradigma itu sendiri yang membelengguku untuk tidak berbuat apa-apa. Setelah malam pengurungan diriku selesai, Kupikir pula mesti mengambil sikap dan tegas terhadap diriku sendiri.
“Keputusan yang kau ambil mudah-mudahan tak salah dengan menyendiri dan tak lagi mencari wanita sebagai pengganti Maya, sementara Tuhan memberikan kepada kita kebebasan dalam surat Ar-Rum ayat 21 untuk mencari ketenangan hati. Lihatlah dan renungkan baik-baik karena ini akan menyiksamu sendiri yang jelasnya jangan pernah engkau berniat lagi untuk mencoret catatan hitam lagi dalam hidupmu”.

*******

Dua warsa telah berlalu, disisi lain Haikal dengan kesendiriannya menatap cakrawala yang terhempas sangat jauh dan luas, gemintang berkedip sangat banyak sampai manusia pun tak mampu untuk menghitung berapa jumlahnya.

“Haikal, Aku bersyukur karena Engkau ikhlas menerima konsekuensi dari keputusan Maya dan telah melupakan dia dari kehidupanmu”.
Walau berat Aku rasakan namun inilah konsekuensi logis yang mesti Aku terima sebab, Aku tak ingin terlarut dalam kesedihan ini, sementara Aku mesti bangkit dari keterpurukan yang telah menghantamku dalam kegalauan, dalam kegelisahan tanpa ada kalimat yang bijak untuk dianalisis.
Lama Haikal merasakan pahit hingga akhirnya ia berkenalan dengan perempuan yang bijak dalam mengambil sebuah keputusan dan nyambung untuk menjadi teman, gadis yang cantik dan memikat hati para pria yang menatapnya. Perempuan ayu itu bernama Maria. Maria adalah gadis yang berdomisili di kecamatan yang sama dengan Maya namun berjauhan tempat tinggal. Maria yang kerap dipanggil Ria ini telah mengisi hari-hari Haikal dengan penuh fantastis hingga berada pada dunia di mana Haikal pernah merasakan dunia itu bersama dengan Maya.
Kehidupan yang tak pernah terduga dan banyak rahasia didalamnya, konsep roda kehidupan benar-benar ada bahwa tak selamanya manusia itu berada di alam penderitaan tapi kadang pun ia akan berada pada dunia kebahagian.

Kenikmatan-kenikmatan yang Haikal lewati bersama dengan Ria sangat berbeda dengan Maya, sebab terlalu banyak perdebatan dan perbedaan yang dirasakan oleh Haikal namun itulah yang mereka jalani, kisah yang penuh dengan perbedaan pola paradigma dan kadang memunculkan konflik laten hingga berakhir pada konfrontasi yang tak ending.

Kisah ini dilalui Haikal begitu serius namun, tak dapat dipungkiri bahwa Haikal masih menaruh harapan agar Maya mau kembali untuk melewati masa-masa indah bersama Maya walau pernah ia berniat untuk meninggalkan ilusinya itu namun bayang-bayang Maya kerap menghantui dan mendapatkan posisi teristimewa dalam benak Haikal, untuk melewati masa-masa indah bersama Maya.
“Ya … Sang Rabbi, Engkau memberikan Aku kekuatan dan kelemahan, Engkau pula yang memberikan Aku sakit dan Engkau pulalah yang memberikan Aku obat, tapi Aku tak dapat memutuskan dan mengambil sikap yang mana harus Aku lalui dan menerima keputusan ini. Apakah Aku harus terlena dengan Maya ataukah Aku harus menjalani kehidupan romantismeku bersama Ria walau banyak perbedaan didalamnya, hanya Engkaulah yang dapat memberikan Aku jawaban dari apa yang Aku alami ini. Ya . . . Sang Maha Adil tunjukkanlah Aku keputusan hingga Aku tak menyakiti mereka. Amin. Deruh Haikal dalam doa

Hati Haikal kerap tak menentu kadang memilih untuk lebih setia ditemani dengan bayang-bayang Maya, kadang pula ia tak ingin menyakiti hati Ria, walau banyak perbedaan didalamnya.
Seusai shalat Isya, gema takbir terdengar sampai ke sudut-sudut desa, dalam hati Haikal bersimpuh malu terhadap dosa-dosa yang pernah ia perbuat dengan hati yang penuh dengan dosa, Haikal memanjatkan doa agar dosa-dosa yang diperbuat dapat terampuni.
Seusai takbir dan zikir Haikal bangkit dari duduknya dan pulang ke rumah. Pesan singkat yang ada di HPnya. Sebanyak tujuh pesan dibuka, satu diantaranya adalah pesan permaafan dari Maya dan satu diantaranya pesan dari Ria.

Haikal yang tak sanggup mengambil sikap sampai detik itu, hanya dapat menjalani semua seperti air yang mengalir dan tak kuasa lagi untuk melawan kehendaknya.
Aku mesti mengambil sikap, walau ada konsekuensi yang Aku terima, Aku tetap memilih di antara mereka. Di sela renungan terhadap Maya dan Ria, dering tone sms berbunyi hingga menghamburkan lamungan Haikal.

“Haikal, kadang orang berpikir bahwa dunia ini tak abadi, dan apa yang kamu pikirkan itu tak akan terwujud karena Aku telah menjadi milik orang lain, Kuanggap ia lebih matang dalam berproses, Aku sangat menyanginya walau Aku tahu ia telah menghianatiku, tapi inilah cinta dan cinta tak dapat dipaksakan”. Salam Hormatku. Maya.
Ya, …. Sang Maha Pemurah, Inilah konsekuensi itu dan Aku ikhlas menerima keputusan ini.
Sejak pesan singkat itu Aku tak berani lagi memikirkan Maya dan Aku lebih memutuskan untuk menjalani kisah asmaraku bersama Ria, karena Ria gadis yang memiliki keunikan walau di antara kami memiliki banyak perbedaan yang urgensial.
Aku hanya dapat membawa cintaku ke palabuhan dan Kubiarkan pinisi mengantarnya ke pelabuhan seberang sana, walau Aku sadar bahwa wajah ayunya masih menghantui broka dan darahnya masih mengalir dalam darahku.

Maya Lestari jadikan Ia sebagai pelabuhan terakhirmu dan jadikan Ia sebagai Arung dalam kerajaan hatimu dan biarkan Aku menjadi ata karena ata tetaplah ata tak mungkin manjadi Arung. Selamat tinggal Pinisi yang telah Kupahat selama tiga warsa labuhkan cintaku hingga cinta itu menjadi kekal dan abadi dalam sanubari pecinta.

Maros, 18 Oktober 2008
Dari kangen yang terbelenggu
Menerawang dalam ruang nestapa
Pinisi cinta labuhkan cinta ini
Dalam ruang nikmat

Ku Tukar Isak Tangisku dengan Sure' Pappikatu

Terpaku dalam sepi, ombak menerawang dalam riangnya ke sana kemari, tanpa beban, tanpa rasa oleng, kadang karangpun menjadi penghalang bagi ombak yang berlabuh tapi ombak itu tetap dengan pendiriannya, walau kapal dan karang tak jua menyurutkan ia untuk berenang dan mengalir dalam riangnya.

Berlalu dengan dekap yang tak henti, masa demi masa pasti berlalu, tetapi gelisah menuang dalam secarik kertas dengan tinta hitam yang tak lagi membicarakan tentang rindu, kangen apalagi berbicara tentang kita. Naif, memang ketika itu dinikmati dalam sepi apalagi mesti ditukar dengan sakit yang mendahsyat. Ingin berlari dari waktu yang kian menjebak, tapi tak mampu dengan beberapa paras wajah dengan bibir mungil itu.

Sudah beberapa warsa tak memberi coment, pegal jua jemariku memencet tombol dengan asa bahwa suatu saat nanti engkau mau membacanya apalagi menikmatinya dengan secangkir susu dan oreo, tapi itu impasibble, yah mustahil sebab telah kau tukar torabikaku dengan teh pahit dan hambar.
Detak dan getar masihkah kamu merasakannya, ketika tubuh kaku dengan sebuah harapan yang tanpa batas? Ataukah Aku mesti berlari dari fajar yang terbit lalu menyelimuti? Apalagi ketika embun menjadi padu dengan butiran kristal yang berhamburan tanpa kadar? Sulit untuk mengelak hanya nafas yang dihempaskan dan membuangnya lalu berlari di tengah kemalangan dengan takdir yang disepakati.

Ruang-ruang rindu yang terbengkalai dan telah berpenghuni, namun telaga masih kering dengan verbamu, dengan bahasa manis yang tertuang dengan kodratnya. Setelah abstain dengan pilar yang tak lagi kelam. Indah memang tapi itu subyektif bukan obyektif karena urgensial dan subtanisal air mata yang tumpah bukanlah kerinduan yang terbengkalai tapi musnahnya benang merah asmara.
Nadiku berujar masihkah riang itu berarti, sementara isak dan iba ada pada jelajah setapak pada bingkai kebun cengkeh, yang tertinggal hanya sukma di sana dan tanpa menoleh untuk menjadikannya hadiah yang berharga. Nurani yang telah beradu dengan nasib, bak laksana pada padang panjang sehingga seorang insan haus tentang wujudmu.

Inikah dibalik topeng kegalauan itu? Ataukah mesti mencari yang mana hak dan batil? Sedangkan tak ada eksistensi dari balik topeng itu. Setiap nadi yang berdenyut masih memberikan pengharapan yang sia-sia, yah pengharapan yang sia-sia dan tak pantas untuk diapresiasi pada khalayak umum, ingin rasanya ku buktikan pada dunia bahwa warkat ini mengglobal tanpa ada generalisasi, hajat yang suci memang tapi itu hanya sebongkah sampah yang telah busuk untuk dihirup.

Bram . . . . terlalu dalam makna wacana yang tersebar itu, sampai pada pelosok desa mananti mendengar kabar itu, tapi apakah kau tahu? Bahwa ia telah menjadi milik orang lain dengan hiasan lamming dan beberapa orang penjemput tamu yang memakai baju bodo dan ia telah naik dipelaminan dengan seorang pria yang berbaju seragam dan berwibawa. Tutur mbak Lena
Bram . . . kesepian dan penantianmu itu hampa, kaupun tahu hal itu sebab tak ada yang patut memikirkan laki-laki semacam kau yang nilai tukarnya tak ada, penghasilan kadang terbuang dengan sebatang kretek, hidup menjadi sepasang insan kamil itu tak mudah dengan hanya mengadalkan permata dari palung hatimu itu, karena mesti ditukar dengan kadar yang paling berharga yaitu intan dengan balutan emas yang berkilo-kilo, kaupun mesti tahu itu, sapa mbak kiky,

Lena...., kiky.... Mesti alumunium diapakan tetap ia akan menjadi almunium, Aku tahu hal tersebut, tapi Lena mestika kita menukar cinta dengan balutan intan permata dengan emas berkilo-kilo, atau paling tidak jabatan yang mapan. Aku tahu tentang apa yang seharusnya kulakukan, engkau akan mengatakan iklaskan ia sebagai rani orang lain, sebab genderang bertalu-talu telah ada pada depan rumahnya dan sarappo dengan pacar ada di tangannya. Tapi ruang rindu yang tak paham. iya, ruang kalbu yang tak paham tentang hal itu, sebab darahku telah mengalir darahnya, dan ia bagian dari sudut ruang dan bilik tawaran yang tak ending.

Sejak awal kau tawarkan tentang asamu itu kepada keakuannya, tetapi di balik itu semua dari kesadaran yang jauh lebih bijak ia memberikannya kepadamu tentang apa yang kau rasakan, impati yang tak mestinya dia berikan tetapi ia memberikannya kepadamu sebab darahmu pun mengalir dalam darahnya, tapi ini konsekuensi dari koflik yang konfrontasinya mesti diminimanilisir dengan sebuah kebijakan dan kesabaran. Sapa Mbak Dian Tapi, apakah tidak wajar jika kutorehkan gelimang harta nuraniku kepadanya dengan sosok airmata yang kuberikan, walau beberapa lamunan ada dia disana, apakah kejenuhanku tak mampu memberikan sebuah kepastian tentang apa yang mesti dilakukan. Yah, Aku memang salah dengan undur dari kehidupannya, tetapi kesempatan telah ia berikan kepadaku dengan sebuah pengorbanan bahwa esok akan lebih cerah bagi kami.

Terlalu naif, dinda ketika airmata yang mesti kau tukar dengan embun karena semua ada prosesnya. Semua ada langkah yang mesti disikapi, dan membutuhkan strategi jitu untuk menganalisis stekholdernya. Wacanamu terlalu pahit dinda, bahkan kepahitan itu membuatnya mesti jauh dari kamu.
Daeng, mestikah kuganti air laut dengan air tawar? Apakah mesti kuputar waktu agar ia tak menjadi milik orang lain dan kupinang ia dengan hanya sebuah cincin putih? Ataukah mesti kujalani dengan sebuah kepedihan. Ah.... tidak, tidak, ku tepuk dinding tembok dihadapanku dengan segala sesal yang kian mencekam.

Resahmu dan gelisah itu tak pantas lagi ditukar dengan ruang bahagia, karena perjalanan romans yang kamu lalui telah pupus dengan pinangannya, malam ini ia telah duduk di pelaminan dan tak ada yang mesti diperbuat sebab ikrar seumur hidup telah terpatri, lihat ke arah kananmu, beberapa passolo telah datang dengan restu, liat juga kegeringan yang dipancarkan dari sudut matanya yang elok, liat bibirnya yang mungil itu ia memberikan semiotik bahwa pria itulah yang pantas menjadi pendampingnya sampai pada ia ada kebahagian ataupun konflik-konflik yang tak ada pada permukaan.

Ku hirup udara dan membuangnya . . . Bram menoleh ke arah Luna, tatapan matanya memancarkan ketidakadilan dan kesembrautan, proses ini tak boleh terjadi gumamnya dalam hati tetapi suara genset terlalu besar hingga suara kalbu itu tak didengar oleh Luna,
Tubuh yang mampu bergerak dan tak bergetar, karena ia mesti menatap langsung sebuah ijab qabul yang sesungguhnya ia yang mengucapkan ijab itu. Walau perih yang dirasakan Bram ketika menerima sure pappikatu sebagai passolo bukan sebagai laki-laki yang bersama Luna di pelaminan.
Bram . . . liat pula kegeringan yang diberikan orang tua Luna, Ima dan saudara-saudaranya yang lain, meskipun pernah terlontar di desa ini namamu dan nama Ram... tapi itulah realita, realita yang mesti kamu terima dengan sebuah kesabaran.

Lena, Kiky, Ram, Ati . . . entah dengan apa kutukar kekecewaan ini kepada waktu, entah dengan apa kulelang rasa ini dengan ketidakbahagianku, ataukah Aku mesti berdiri di sini sementara jemarinya dan jemariku telah berjabat tadi.

Bram.... restu dan doa yang Luna butuhkan sebab tak ada lagi peluang dan kekuatan untuk ditembus sebab pintu telah rapat untukmu. Bahagianya membuatnya telah melupakan dirimu walau ia tahu betapa besar rasa yang kau miliki, mesti terawat pada rumah sakit akibat kecelakaan itu, mesti dirawat secara insentif akibat butir-butir kristal yang kau isap, bubuk putih yang membuatmu tenang ketika bayangnya menjelma pada ruang kamar tamunya, atau engkau tanyakan saja pedihmu itu pada botol-botol yang berisi ukiran di depannya dengan sebuah sebutan wisky, donal, bir bintang, atau apakah, yang jelasnya itu tak menyurutkannya dengan sebuah paradigma yang seharusnya ia kembali kepadamu sebab telah banyak ia ditawar dengan isak tangis akibat kelakuanmu.

Kak . . . pintu terbuka lebar untukmu dulu, ketika warkat bahwa kakak akan datang dengan sebuah harapan dari keluarga kami bahwa kakak akan menjadi b
agian dari keluarga kami, sebagai ipar kak, tapi setelah sekian lama tak ada lamaran dari kakak maka,

Luna . . . berpaling dengan laki-laki yang kini menjadi suaminya malam ini, sebab warkat kakak tak ada, berita dari kakak tak ada, lantas dengan apa kami mesti menanggung rasa malu keluarga, sedangakan wacana telah tersebar bahwa akan ada sosok pria yang akan mengikat tali silaturrahim dengan keluarga besar kami.

Ima . . . kesepakatan yang telah kami buat adalah empat tahun, Luna pun tahu hal itu, kini genap empat tahun, pas ketika aku dari perantaun, menginjakkan kaki dihadapan rumahku, kabar dan sure pappikatu itu membuatku mesti berlari ke sini, sebab sosok seorang Luna telah menjadi pendamping hidup laki-laki idamannya. Kemarin di pelabuhan Aku berpikir bahwa indahnya pengembaraan ini pulang ke kampung halaman dengan dinantikan seseorang perempuan yang sampai hari ini tak ada yang menggantikannya bahwa hari kamis kakaklah yang akan langsung meminang Luna, tapi tiba-tiba dik sesampainya kakak di rumah kabar kudengar dari ibunda bahwa perempuan ayu yang pernah kau perkenalkan dengan ibu, nak, kini menjadi milik orang lain, engkau mesti ke sana, katanya.

Tapi, sesampainya disini hanya ini yang ada ditanganku Ima, yah sure pappikatu yang seharusnya didalamnya ada namaku dengan nama Luna tetapi kini hanya ada nama Luna dan laki-laki yang menjadi pendampingnya itu bukan Aku, walau pernah terpahat di hati kami bahwa tak ada yang saling berpaling. Karena darah kami telah menyatu.

Dik . . . Tuhan telah menggariskan jodoh hambanya masing-masing, kami sekeluarga telah membantumu dengan menolak beberapa orang yang melamar Luna agar engkau menjadi bagian dari kami, tetapi ini orang ketiga, laki-laki itu memang menjadi kekasih Luna ketika engkau berangkat, karena engkau tak memberi kabar.
Kak, tak ada lagi sebuah harapan yang adik banggakan, setelah dari perantauan karena studi, Aku tak mampu menjawabnya, kesibukan study akhir yang membuatku meluangkan waktu agar aku menjadi cum laude, tapi hanya beberapa bulan ini kak, aku tak memberikan kabar karena kesibukan dan penelitian yang menyita waktuku.
Dik, kakak tahu hal itu, tapi kehendak Tuhan tak bisa dilawan, manusia hanya berencana Tuhanlah yang menentukan. Iklaskan Luna keringkan airmatamu, lalu jabatlah kembali tangan Luna dan tangan bunda serta ayah, kehidupanmu akan cerah nantinya, sebab ini bukan akhir dari segalanya.
Nafasku tersendak-sendak, kutarik nafas dalam-dalam bahwa Luna telah jauh dan tak mungkin kembali sebab perahu telah karam dan tak mungkin berlayar sebab perahu itu telah bocor dengan konsekuensi yang tak logis. Makasih kak.

Mananti, 24 September 2009

Suatu Senja di Warkop


Di penghujung senja ini
kau memberiku warta tentang berlabuhnya dirimu
Hujan tadi kabar dan sekaligus wejangan semiotik darimu
bahwa telah kau cermati kata demi kata hatimu

senja di bantaran sungai ini
wartamu melalui musik poliponik
bahwa engkau telah berlabuh
di ujung pantai losari sebelah barat
dengan membawa kalimat-kalimat impian

Senja di Butta salewangang
Wartamu mencabik naluriku untuk berlari di hamparan laut
untuk menghetikan sekoci di Pulau Barrang Lompo
agar kata dan kalimat itu mesti kau analisa dengan bijak

Indonesia Bangsa Besar, Bangsa yang Menghargai Pahlawan

Dalam peringatan Hari Pahlawan, 10 Nopember 2011 lalu, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar Pahlawan Nasional kepada tujuh orang tokoh.

Ketujuh orang tokoh itu, yakni;
 
Idham Chalid, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), mantan Ketua Partai Masyumi, pendiri dan mantan Ketua Partai NU dan pendiri dan mantan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan mantan Ketua DPR RI.
 
Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan Buya Hamka, ulama besar yang juga dikenal sebagai pemimpin Muhammadiyah, seorang penulis (salah satunya, novel yang sudah difilmkan; Di Bawah Lindungan Kabah) dan aktivis.
 
Sri Susuhan Paku Buwono X, raja Kasunanan Surakarta tahun 1893-1939.
 
I Gusti Ketut Pudja, ikut serta dalam perumusan negara Indonesia, hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi, dan mantan Gubernur Sunda Kecil.
Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, pendiri Partai Katolik Indonesia, ikut bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan ikut berjuang merebut Irian Barat.
 
Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro, pernah memimpin Taman Siswa dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1949 hingga tahun 1950.
Dengan bertambahnya tujuh Pahlawan Nasional baru ini, Kementerian Sosial RI mencatat saat ini terdapat 156 Pahlawan Nasional yang telah diangkat oleh pemerintah.
Dari jumlah itu, sebanyak 32 Pahlawan Nasional dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan sebanyak 50 pahlawan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) yang ada di seluruh Indonesia. Selain itu, juga terdapat 90 pahlawan yang dimakamkan di luar TMP dan 9 orang Pahlawan Nasional tidak ketahuan makamnya.

Jika menilik jumlah ini, maka wajar jika kemudian Indonesia disebut sebagai bangsa yang besar, yakni bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.

(puisi pendek) ”imajinasi__

”imajinasi__(puisi pendek)

Bahasa bukanlah pengertian, sebelum 
kau mengenal hutan liar yang bermain dikepalamu dalam setiap kata,
lihatlah di setiap lekuk, bait dan iramanya,
 ia adalah cinta yang kita telan atau kawah yang kita muntahkan, karena
rindunya adalah lejit panah yang hampir menancap
: kepadamu atau kepadaku.....

Mushallah Tua Itu..!

Saat itu, tahun 2008, saya masih dibebani tanggungjawab untuk mengurus bagian kemahasiswaan di tempat tugas saya. Salah satu rutinitas setiap tahun yang saya lakukan adalah melakukan pendataan lulusan yang berhasil lulus seleksi CPNS, dari hasil rekapan yang saya buat, sepintas terlihat pola yang menarik dari nama-nama yang lulus setiap tahun, khusunya alumni laki-laki, bahwa mereka yang pernah tinggal di Masjid semuanya telah lulus seleksi CPNS.

Tinggal di Masjid?

Ya, betul, tinggal dimasjid, sekitar 500 meter dari kampus tempat saya bekerja berdiri kokoh sebuah masjid yang diberi nama Masjid Al-Bustam, dalam kompleks Masjid terdapat sebuah kamar yang muat untuk 4 orang, entah sejak kapan, pengelola Masjid memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk tinggal di kamar tersebut dengan catatan mereka harus aktif dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Masjid seperti Adzan, menyapu atau membersihkan lingkungan Masjid, yang terjadi adalah semua mahasiswa yang pernah tinggal di tempat itu sejak tahun 2001-2008 telah lulus menjadi PNS, tidak ada satupun yang tersisa.

Mushallah Tua Itu!

Pikiran saya lalu menerawang jauh ke masa itu, masa dimana saya pertama kali berkenalan dengan orang-orang yang menikmati hidup di sebuah mushallah. Saban sore, sepulang sekolah, sepeda tua itu saya kayuh hanya untuk menjadi bagian dengan mereka, penuh dengan kedamaian, dengan energi positif yang luar biasa. Apa yang terjadi selanjutnya, bahwa orang-orang itu, yang tidak mengenal malam dan siang, berdiskusi, berbisik, bergurau, bercengkrama, penikmat "songkolo bagadang" atau sekedar numpang mandi di Mushallah itu, telah menjelma menjadi orang-orang sukses.

Ini adalah janji Allah SWT dan itu sudah terbukti, bahwa siapa saja yang memakmurkan rumah-Nya akan diberi kemudahan untuk menggapai apa yang diinginkan, Insya Allah.

Tapi, Mushallah itu semakin tua, semakin tak berbentuk, ia tidak menuntut banyak, hanya butuh sedikit perhatian dari orang-orang yang pernah hidup dibawah atapnya dengan lantai papan yang rapuh yang saat ini sedang menikmati kesuksesannya.

Maafkan saya, maafkan hamba-Mu, yang tidak bisa berbuat lebih....

sebuah situs di "leang Burung", dan penambang marmer ,Maros Indonesia

"Arkeolog berkebangsaan Australia  yang sejak tahun 1970, telah melakukan penelitian di situs tersebut, mengaku sangat prihatin terhadap tindakan semakin dekatnya pekerja /penambang marmer dari situs yang ditelitinya, padahal ia tahu bahwa tempat penambang tersebut adalah daerah terlarang sebab dekatnya dgn situs,  "Suara -suara keprihatinan akan disampaikan kepada > BLHD Kabupaten, dan Dinas Pertambangan ." katanya.

Dalam kecemasan terhadap peristiwa tersebut, saat bincang bincang dengan komunitas  "Pemerhati Lingkungan Hidup", sang peneliti tersebut menunjukkan beberapa foto yang diambil tanggal 4 november 2011, terkait dekatnya penambang marmer dengan situs yang ditelitinyan sejak 30 tahun lalu,

Arkeolog yang mengabdikan diri pada penyelidikan di "situs di Leang Burung tersebut", menuai dukungan dari komunitas Pemerhati Lingkungan Hidup tasb, dan  sebagai ungkapan atau tanggapan,"peninjauan kembali ijin tambang Kalau boleh kami anjurkan agar supaya ada ekskavasi darurat oleh BLHD dan Dinas Pertambangan, agar lokasi ini  menemu okupasi sebagai hal yang  penting untuk terlindungni dengan segera " ungkap Muh.Ridwan (koordinator Umum Koalisi Pemerhati Lingkunga Hidup) .

Crew "Revitalisasi Budaya Lokal  Maros",  juga sangat menyesalkan tindakan dekatnya penambang marmer dari dekatnya situs tersebut,   bahkan ia juga mengkritik pihak-pihak atau tokoh-tokoh tertentu yang mem- bungkam terhadap peristiwa ini,  padahal yang dirusak tersebut adalah salah satu jati diri atau jika bukan adalah jejak masa lalu sebuah peradaban di Sulawesi Selatan ini.
_____________________________________
Kaimuddin Mbck. Maros Sulawesi Selatan Indonesia.

sepi siapa ?

Sepi siapa melesatkan panah, sebuah
     jantung tertembus, tetestetes darah menahan laju detak jam,
     Uh…3,4,5 nganga sepi, nganga pada jalan setapak, nganga pada bangku taman, nganga pada sudut bumi
uh, kau harus pulang sayang …, dengan kejut yang kau bawa serta, tentu pada
     kejut anak panah yang kesekian kali…, Sepi siapa atau : "kita"?
___________________________. 

~duhh...matamu say_

kukira bola salju yang menggelinding,
ah sudahlah... 
:Aku terlindas sajalah atau  tercebur di beningnya, 
di matamu: ku menyempit dan purba 
di-tatapmu aku  tinggal diam, dan tawar,
berhentilah....ditatapmu ku tergantung tinggi meng-awan
-----------------------------------------------------
maros "senja yang kukira matamu"

~Semakin Menulismu_

       "tulis saja sesuatu yang kau kenali pun yg tak kau kenali", sebab
        waktu disinipun benar-benar petang dan kau tak rindu sedikitpun,
disini..,pada hawa di puncak ketinggian ini, uihh..benar2 bau langit, abuabu juga kebiru-biruan,
: sebuah adrenalin yang kurindu, dan dunia bawah itu ya...
         sebuah dunia hura-hura dan tanpa kendali, sangat ramai...
         setelah ini, tak ada lagi apa-apa kecuali, melayang dan terjatuh,
         kumenulisnya sebagai "terjatuh untuk sebuah kesenangan.

.Ketika ku menangkapmu di ceruk mataku, sebuah sepatu kets dan wajah di jendela yang sangat kukenali, awaass.....Seperti inilah bumi selalu kurindu, menatapnya dari ketinggian, dan kuterjatuh ...........
         ah....aku tak pernah menjadi apapun kacuali harus terjatuh,
         ah....aku ingin kembali sepenuh adrenalin,
         menenggelam atau terjatuh dipelukmu
dengan wajah penul lumpur juga darah,
oOh.....baru saja kumerasa "hidup" : saat terkulai pada sunyi yang paling kudus,
bila kau tatap langit kalau-kalau kuterjatuh yang kesekian kali
Uuuiiihh....semakin sakit jatuhku: semakin dalam kumenulis-mu
-----------------------------
kaimuddin mbck, maros Indonesia "Sang Adrenalin",haha...ha..

Jika Ingin Menulis Puisi, Jatuh Cintalah!

Malam ini, saya tiba-tiba teringat perkataan seorang kawan yang penyair; "ada dua hal yang membuat puisi dapat dengan mudah lahir, pertama saat jatuh cinta dan kedua saat patah hati."

Ungkapan itu membuat saya rindu menulis puisi lagi. Namun ritme rutinitas keseharian saya begitu menyita waktu hingga tak menyisakan ruang untuk sekadar berkontemplasi. Realitas yang saya jalani pun rasanya tak menyodorkan romantisme yang perlu diabadikan. Saya seperti kehilangan enargi kreatif untuk meramu kata dan menyusun kalimat menjadi puisi.

Padahal, dalam rentan waktu 1996 hingga 2006, puisi-puisi saya terpublikasi di media cetak lokal maupun nasional, diterbitkan dalam jurnal berkala, bahkan dibukukan. Kalau menulis puisi membutuhkan sebuah stimulan, inilah yang nampaknya tak hinggap dalam ruang imajinasi saya selama ini.

Kata-kata menguap begitu saja dalam benak saya. Tak ada yang sempat terabadikan. Peristiwa-peristiwa berlalu begitu saja tanpa mampu kurekam secara gramatik. Lantas apakah saya mesti jatuh cinta lagi ataukah patah hati dulu adar bisa mencipta puisi lagi?

Sambil menenguk kopi, saya pun bergumam; "Kalau rumah bagi penyair adalah puisi. Maka saya harus segera pulang!"

Ayah, Ijinkan Aku

Ayah
Maafkan aku jika menulis hal ini lagi
Menggambarkan perasaanku lagi
Mempertanyakan keadaanmu disana lagi

Ayah
Aku tak pernah tahu akan rahasiaNya
Semua berlalu dan terjadi sesuai skenarioNya
Dan aku hanya menikmati sambil menumpukkan banyak tanya
Apakah kita akan bertemu disana?
Tempat yang kini didalamnya engkau sudah bahagia

Ayah
Coba sejenak lihat aku
Bertumbuh seperti inginmu
Meski kini tak dilihat matamu
Tak dirasa hatimu
Aku tahu kalau ayah bersamaku

Ayah
Ijinkan aku
Meniti setiap mimpi yang kutahu itu mustahil
Tetapi aku mencoba untuk terus berhasil

Ayah
Ijinkan aku
Mencium kaki dan tanganmu
Disaat aku benar-benar merindu
Rindu yang menyesakkan kalbu
Sebab raga ingin sekali bertemu

Ayah
Ijinkan aku...
Mencintaimu selalu...

Nyanyian Rindu Sang Petualang

Sepoi
Sejuk
Senandung membiru
Menemani langkah seolah tak sama
Namun tetap mencari rasa

Wahai jiwa yang disana
Aku terus berjalan meniti waktu yang terus bergulir
Sementara semuanya masih tertidur
Dan aku masih terus berjalan

Wahai jiwa yang sedang duka
Lihatlah jejak-jejak kakiku
Adakah duka menyelimutinya?
Ataukah hanya cinta yang terus menyemai?

Wahai jiwa yang sedang suka
Aku disini berdendang
Menanti waktu itu datang
Hanya untuk bertandang
Dan berkata dengan lantang
"Aku rindu padamu"


Adrenalin Penulis Muda

Menulis bagi sebagian orang menjadi satu pekerjaan yang rumit, tentu dengan alasan tak semudah jika berbicara. selain itu juga menulis dianggap sebagai keterampilan khusus yang hanya dimiliki oleh orang orang tertentu saja. Dan berbagai macam alasan yang memeang terkesan menjadikan pekerjaan menulis itu sebagai pekerjaan yang sangat rumit. Dari beberapa orang hal tersulit dari menulis adalah pada saat akan memulai sebuah tulisan, mulai dari mana dan berakhir di mana.

Berbagai kendala tersebut lalu mengilhami kami untuk mengumpul beberapa tulisan dari penulis pemula, bahwa sesungguhnya menulis bukanlah harus mencapai titik dimana tulisan kita harus disukai dan disenangi semua orang, atau bahakan menulis harus di terbitkan dalam sebuah buku. Jika itu cita cita akhir dari kegiatan menulis, maka saya kira tak ada satupun orang yang akan memulai menulis. Padahal sesungguhnya menulis itu pada hakikatnya adalah menyampaikan ide dan gagasan kita besar atau kecil dalam bentuk tulisan. Bukankah semua orang pernah berbicbara dan menyampaikan idenya melalui bahasa lisan. Lalu mengapa kita tidak menyampaikan ide itu dalam bentuk bahasa tulisan.

Blog ini kemudian diharapkan menjadi temapat bagi siapa saja yang ingin menulis, panjang atau spendek, bagus atau tidak, ilmiah atau tidak, semuanya akan ditampung. Hasil kaarya inia akan dipublikasikan, dan suatu saat ketinga ada waktu senggang anda membacanya, dan yakinlah anda tidak akan percaya bahwa pada saat itu anda bisa menuliskan demikian.

Ditunggu tulisannya

FLP Maros Membangun Tradisi Menulis

Forum Lingkar Pena Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menggelar seminar kepenulisan untuk siswa dan mahasiswa dalam di Aula Al Markaz Al Isl...

Artikel Populer